Minggu, 24 Juni 2012

INGAT MAKASSAR, INGAT MACET…*TING!!!

Setiap kota di dunia ini tentunya mempunyai ciri khas tertentu yang bisa membuat orang mudah mengingatnya. Seperti Paris dengan menara Eifel-nya, Sydney dengan gedung operanya, Hongkong dengan gedung–gedung pencakar langitnya dan masih banyak lagi. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri  jika kota yang kita tinggali bisa dikenal oleh orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Namun apa jadinya jika kota kita dikenal bukan karena keindahannya, keramahan penduduknya, atau karena potensi investasi, dan lain sebagainya, melainkan karena keburukannya? Sungguh memalukan bukan?

Makassar sebagai kota yang sedang “menggeliat” saat ini harusnya bisa sadar dan memahami hal itu. Konsep kota dunia yang dicanangkan oleh pemerintah kota pun sepenuhnya harus didukung oleh semua pihak, mulai dari masyarakat sampai pejabat-pejabat di pemerintahan sendiri. Bukanlah sepenuhnya kesalahan pemerintah jika kota kita seolah haus akan celaan, cercaan dan kritikan.  Ini tanggung jawab bersama.

Mengunjungi kota Makassar, mendengar orang menyebut tentang kota Makassar,  hal apakah yang terpfikirkan oleh kita?  Tentunya tentang apa yang begitu mencolok dari kota ini. Obyek wisatanya kah? Atau hal lain?
Kekhawatiran terbesar yang membayangi kota yang sedang menanjak ini adalah kemacetan panjang yang melanda jalan-jalan utama di kota ini. Data menunjukkan bahwa jumlah kendaraan di kota ini sudah mencapai 1,7 juta unit dan jika melihat grafik pertambahan jumlah kendaraan maka diperkirakan tiga tahun kedepan kota ini akan menjadi kota mati karena kemacetan yang melanda setiap jalan. Tentu bukan hal yang kita inginkan jika Makassar yang selama ini banyak dikenal karena pantai losari, pisang epe, coto, Trans studio, dan lain sebagainya tergusur oleh ”bad thing” yang kita sebut kemacetan.

Mau kemana? Lewat mana? Maka bersiaplah memikirkan jalur alternatif untuk menghindari kemacetan panjang. Sudah menjadi hal yang lumrah jika banyak orang yang menjadikan macet sebagai alasan pembenaran ataupun menyalahkannya atas masalah pribadi. “Anu pak, macet tadi” kata seorang mahasiswa pada dosennya saat terlambat mengikuti ujian. “Gara-gara macet mini, sedikit kudapat setoran” kata seorang supir pete-pete yang mengeluh karena setorannya kurang. “Bededeh, cepatnya habis bensinku..gara-gara macet lagi ini” kata anak muda yang baru pulang pacaran. 

Sadar tidak sadar kita telah menjadikan macet sebagai yang paling salah, padahal kemacetan itu tidak lain berasal dari kita sendiri, pengguna jalan. Bukan tidak mungkin, dua atau tiga tahun kedepan, kota ini benar-benar mati karena kemacetannya. Mobil tak lagi melaju sebagai mana mestinya, sepeda motor tak lagi berjalan di ruas jalan melainkan menyelip diatas jalur pejalan kaki alias trotoar. Lantas hal ini menjadi salah siapa? Pemerintah kah atas  kebijakannya yang tidak mampu mengatur peredaran kendaraan bermotor dengan baik? Yang kurang sigap dalam mengoptimalkan jalan sesuai volume kendaraan? ataukah masyarakatnya yang terlalu “talekang” ingin disebut kaya? Yang terlalu manja dan malas sehingga untuk jarak dekat pun harus menggunakan kendaraan bermotor? Yang diam dan melihat masalah semakin rumit dan tak terkendali tanpa memberikan solusi? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya tidak terlontar jika kita semua mau berfikir dan bertindak.

“Saya adalah pemerintah di kota ini, melihat pertambahan jumlah kendaraan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan maka sebaiknya dana pembangunan infrakstruktur khusus jalan saya tingkatkan dan program pelebaran jalan harus segera terealisasikan”.
”Saya adalah pemerintah di kota ini, setiap musim hujan genangan air selalu terjadi di tiap ruas jalan dan menyebabkan kemacetan, harus segera dibangun gorong-gorong bawah tanah, memperbaiki saluran air ataupun kanal,  melibatkan engineer-engineer lokal untuk membuat rekayasa aliran air bah, membuat danau buatan untuk menampung air hujan di seluruh wilayah kota, melakukan penghijauan untuk mengoptimalkan penyerapan air, semua itu harus segera terealisasi tahun ini untuk mencegah banjir yang menyebabkan kemacetan dan masalah lain yang akan timbul nantinya”.
”Saya adalah pemerintah kota ini, saya melihat kemacetan mulai terjadi karena kebiasaan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi karena angkutan umum yang kurang dan tidak nyaman, maka dari itu pemerintah bekerja sama dengan dinas transportasi dan jalan raya bersama-sama sesegera mungkin merealisasikan program transportasi massal yang nyaman dengan biaya murah, cepat, hemat energi dan ramah lingkungan”.
”Saya adalah masyarakat kota ini, melihat jarak rumah dengan tempat saya bekerja tidak terlalu jauh, maka saya cukup berjalan kaki/naik sepeda saja”.
”Saya adalah mahasiswa konsentrasi transportasi dan jalan raya, melihat kemungkinan kemacetan yang kedepan akan terjadi, maka saya harus membuat konsep rekayasa lalu lintas yang efisien dan akan saya tawarkan solusi ini pada pemerintah”.  
Fikiran-fikiran seperti inilah yang harusnya bisa tumbuh dari kita semua. Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Mencegah kemacetan sebelum terjadi kemacetan itu lebih baik dari pada memikirkan solusi atas kemacetan yang telah terjadi.
Jadi “Ingat Makassar Ingat Macet” tidak perlu terjadi jika kita semua mau berfikir dan bertindak.

2 komentar: