Setiap kota di dunia ini tentunya mempunyai ciri khas tertentu yang bisa
membuat orang mudah mengingatnya. Seperti Paris dengan menara Eifel-nya, Sydney
dengan gedung operanya, Hongkong dengan gedung–gedung pencakar langitnya dan
masih banyak lagi. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri jika kota yang
kita tinggali bisa dikenal oleh orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Namun
apa jadinya jika kota kita dikenal bukan karena keindahannya, keramahan
penduduknya, atau karena potensi investasi, dan lain sebagainya, melainkan
karena keburukannya? Sungguh memalukan bukan?
Makassar
sebagai kota yang sedang “menggeliat” saat ini harusnya bisa sadar dan memahami
hal itu. Konsep kota dunia yang dicanangkan oleh pemerintah kota pun sepenuhnya
harus didukung oleh semua pihak, mulai dari masyarakat sampai pejabat-pejabat di pemerintahan sendiri. Bukanlah sepenuhnya kesalahan pemerintah jika kota kita
seolah haus akan celaan, cercaan dan kritikan. Ini tanggung jawab
bersama.
Mengunjungi
kota Makassar, mendengar orang menyebut tentang kota Makassar, hal apakah
yang terpfikirkan oleh kita? Tentunya tentang apa yang begitu mencolok
dari kota ini. Obyek wisatanya kah? Atau hal lain?
Kekhawatiran
terbesar yang membayangi kota yang sedang menanjak ini adalah kemacetan panjang
yang melanda jalan-jalan utama di kota ini. Data menunjukkan bahwa jumlah
kendaraan di kota ini sudah mencapai 1,7 juta unit dan jika melihat grafik
pertambahan jumlah kendaraan maka diperkirakan tiga tahun kedepan kota ini akan
menjadi kota mati karena kemacetan yang melanda setiap jalan. Tentu bukan hal
yang kita inginkan jika Makassar yang selama ini banyak dikenal karena pantai
losari, pisang epe, coto, Trans studio, dan lain sebagainya
tergusur oleh ”bad thing” yang kita sebut kemacetan.
Mau kemana?
Lewat mana? Maka bersiaplah memikirkan jalur alternatif untuk menghindari
kemacetan panjang. Sudah menjadi hal yang lumrah
jika banyak orang yang menjadikan macet sebagai alasan pembenaran ataupun menyalahkannya atas masalah pribadi. “Anu pak, macet tadi” kata seorang
mahasiswa pada dosennya saat terlambat mengikuti ujian. “Gara-gara macet mini,
sedikit kudapat setoran” kata seorang supir pete-pete yang mengeluh karena
setorannya kurang. “Bededeh, cepatnya habis bensinku..gara-gara macet lagi ini”
kata anak muda yang baru pulang pacaran.
Sadar tidak sadar kita telah
menjadikan macet sebagai yang paling salah,
padahal kemacetan itu tidak lain berasal dari kita sendiri, pengguna jalan. Bukan tidak
mungkin, dua atau tiga tahun kedepan, kota ini benar-benar mati karena
kemacetannya. Mobil tak lagi melaju sebagai mana mestinya, sepeda motor tak lagi
berjalan di ruas jalan melainkan menyelip diatas jalur pejalan kaki
alias trotoar. Lantas hal ini menjadi salah siapa? Pemerintah kah atas
kebijakannya yang tidak mampu mengatur peredaran kendaraan bermotor dengan baik? Yang kurang sigap dalam mengoptimalkan jalan sesuai volume kendaraan? ataukah
masyarakatnya yang terlalu “talekang” ingin disebut kaya? Yang terlalu
manja dan malas sehingga untuk jarak dekat pun harus menggunakan kendaraan bermotor?
Yang diam dan melihat masalah semakin rumit dan tak terkendali tanpa memberikan
solusi? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya tidak terlontar jika kita semua
mau berfikir dan bertindak.
“Saya adalah
pemerintah di kota ini, melihat pertambahan jumlah kendaraan dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan yang signifikan maka sebaiknya dana
pembangunan infrakstruktur khusus jalan saya tingkatkan dan program pelebaran
jalan harus segera terealisasikan”.
”Saya adalah pemerintah di kota ini, setiap
musim hujan genangan air selalu terjadi di tiap ruas jalan dan menyebabkan
kemacetan, harus segera dibangun gorong-gorong bawah tanah, memperbaiki saluran
air ataupun kanal, melibatkan engineer-engineer lokal untuk membuat
rekayasa aliran air bah, membuat danau buatan untuk menampung air hujan di
seluruh wilayah kota, melakukan penghijauan untuk mengoptimalkan penyerapan air, semua itu harus segera terealisasi tahun ini untuk mencegah banjir yang
menyebabkan kemacetan dan masalah lain yang akan timbul nantinya”.
”Saya adalah
pemerintah kota ini, saya melihat kemacetan mulai terjadi karena kebiasaan
masyarakat menggunakan kendaraan pribadi karena angkutan umum yang kurang dan
tidak nyaman, maka dari itu pemerintah bekerja sama dengan dinas transportasi
dan jalan raya bersama-sama sesegera mungkin merealisasikan program
transportasi massal yang nyaman dengan biaya murah, cepat, hemat energi dan
ramah lingkungan”.
”Saya adalah masyarakat kota ini, melihat jarak rumah
dengan tempat saya bekerja tidak terlalu jauh, maka saya cukup berjalan
kaki/naik sepeda saja”.
”Saya adalah mahasiswa konsentrasi transportasi dan jalan
raya, melihat kemungkinan kemacetan yang kedepan akan terjadi, maka saya harus
membuat konsep rekayasa lalu lintas yang efisien dan akan saya tawarkan solusi ini pada
pemerintah”.
Fikiran-fikiran seperti inilah yang harusnya bisa tumbuh
dari kita semua. Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Mencegah
kemacetan sebelum terjadi kemacetan itu lebih baik dari pada memikirkan
solusi atas kemacetan yang telah terjadi.
Jadi “Ingat
Makassar Ingat Macet” tidak perlu terjadi jika kita semua mau
berfikir dan bertindak.